Waktu SMA saya berkawan dengan anak-anak nakal. Prestasi belajar mereka di sekolah sangat minim. Mereka dicap sebagai anak-anak bodoh. Alih-alih mendidik dan membimbing, guru-guru lebih sering memperlakukan mereka sebagai musuh atau penyakit di sekolah.
Mereka kemudian meneguhkan cap itu. Mereka menikmati “permusuhan”
yang diciptakan oleh guru dan lingkungan. Mereka bangga dengan itu.
Makin nakal seseorang makin hebat dia di dalam kelompok. Anak yang
berani menunjukkan kenakalan yang tidak berani dilakukan oleh anak lain,
akan menjadi pemimpin. Maka terjadilah perlombaan kenakalan di dalam
kelompok itu.
Berbagai jenis kenakalan mereka lakukan. Mulai dari yang sifatnya
internal seperti merokok dan minum arak. Waktu itu narkoba masih sangat
sulit didapat, belum menggila seperti sekarang.
Maka anak yang dianggap paling nakal biasanya berani merokok dan
minum di sekolah, seperti di kantin atau warung di dekat sekolah. Yang
lain akan ikut untuk memamerkan bahwa mereka nakal.
Di tingkat yang lebih tinggi kenakalan mereka adalah mengganggu
orang. Baik orang-orang di sekolah maupun masyarakat umum. Yang berani
menantang orang berkelahi adalah jagoan, dan ia akan ditakuti dan
dihormati.
Saya sedikit berbeda dari mereka. Saya cukup berprestasi dalam
pelajaran. Saya juga sering mewakili sekolah dalam lomba cerdas cermat.
Tapi saya tidak suka diberi citra bahwa anak pintar itu tertib dan
penurut.
Saya membangun citra diri yang pintar, tapi sekaligus nakal. Di
samping itu saya mencoba mencari perhatian anak perempuan yang saya
sukai dengan menunjukkan kenakalan. Yang terakhir ini tidak begitu
berhasil sebenarnya.
Dalam kumpulan seperti ini kebaikan adalah musuh. Kalau ada yang
mencoba mencegah seseorang melakukan keburukan, maka ia akan dianggap
sebagai musuh, atau setidaknya pengganggu. Ia akan dikucilkan.
Maka arus utamanya adalah keburukan dan kenakalan. Kelompok akan bergerak menjadi kelompok yang makin buruk dan makin nakal.
Berbagai tata krama sengaja diabaikan dengan bangga. Berbagai aturan
sosial dilanggar dengan riang. Orang-orang di sekitar mereka, orang tua,
guru, perangkat masyarakat seperti polisi, adalah musuh yang perlu
dilawan dan dilecehkan.
Bila ini terus berkembang maka anak-anak seperti ini akan menjadi
anak-anak asosial. Tindakan mereka adalah negasi atas semua tatanan
sosial di sekitar mereka.
Kelompok seperti inilah yang sering kita saksikan melakukan kejahatan yang tidak masuk akal, seperti pembunuhan dan pemerkosaan.
Ada 3 hal yang menjadi rem yang menahan saya dari melakukan kenakalan yang berlebihan saat berkumpul bersama mereka.
Pertama, rasa takut internal. Saya takut melakukan hal-hal berbahaya,
termasuk takut berkelahi. Dorongan untuk mendapat pengakuan tidak
begitu kuat, karena tanpa nakal berlebihan pun teman-teman saya sudah
segan pada saya, karena prestasi belajar yang saya miliki.
Jadi kalau sudah membahayakan, biasanya saya tidak lagi mau ikut.
Saat ngebut dengan sepeda motor misalnya, pada titik tertentu saya tidak
berani lagi melarikan motor lebih kencang. Motor segera saya pelankan.
Kedua, iman. Saya lulusan madrasah tsanawiyah, tidak pernah
meninggalkan salat. Saya juga tidak mau minum miras, karena saya
menganggapnya haram. Siksa neraka cukup membuat saya takut menyentuhnya.
Ketiga, saya punya mimpi. Saya ingin sekolah ke luar negeri, mimpi
yang saya bangun sejak kecil. Jadi, apapun yang saya hitung bisa
menjauhkan saya dari mimpi itu akan saya hindari.
Anak-anak asosial ini umumnya adalah anak-anak yang jauh dari orang
tua. Mereka dibesarkan hanya dengan uang. Orang tua tidak tahu bagaimana
berkomunikasi dengan mereka.
Kesalahan anak hanya diganjar dengan kemarahan dan hukuman orang tua,
tak jarang berupa kekerasan. Keakraban dan kehangatan keluarga tidak
terasa di rumah.
Ada pula orang tua yang menganggap kenakalan itu sebagai sesuatu yang
hebat. Anak yang berani berkelahi dianggap anak hebat, karena
pemberani. Anak tumbuh dalam arah yang salah.
Lalu, apa yang dibutuhkan untuk mencegah terbentuknya anak-anak
asosial ini? Peran terpenting ada pada orang tua. Kemudian pada
guru-guru.
Anak-anak harus diasuh dan dididik dalam keakraban dan kehangatan.
Nilai-nilai ditumbuhkan dengan kasih sayang, bukan permusuhan. Agama
harus ditumbuhkan menjadi basis perilaku positif, bukan sekedar kumpulan
ritual.
Anak-anak harus diberi mimpi, kemudian diarahkan untuk melakukan berbagai kegiatan positif dalam rangka mengejar mimpi itu.
Optimisme bahwa mimpi itu akan tercapai adalah energi yang menjauhkan
mereka dari kenakalan. Kebanggaan atas setiap pencapaian akan
menjauhkan mereka pada kebanggan atas kenakalan.
Tidak hanya itu. Lingkungan sosial juga harus peduli, tidak masak bodoh terhadap keberadaan mereka.
Sikap apatis yang membiarkan mereka karena tiadanya hubungan pribadi
dengan mereka adalah salah satu media untuk berkembangnya sikap-sikap
negatif mereka.
Diambil dari Tulisan Hasanudin Abdurakhman pada kolom Edukasi di Harian Kompas.com.
Link : http://edukasi.kompas.com/read/2016/05/09/19313641/Anak-Anak.Asosial